TIMES SUMENEP, SUMENEP – Ikatan Mahasiswa Raas (IMR) menilai aksi 275 nelayan Kangean yang mengepung kapal milik PT Kangean Energy Indonesia (KEI) di perairan Kangean bukan sekadar reaksi spontan, melainkan cerminan akumulasi kekecewaan masyarakat pesisir yang selama ini hidup di tengah eksplorasi sumber daya alam tanpa peningkatan kesejahteraan yang sepadan.
Bagi IMR, peristiwa itu memperlihatkan ketimpangan yang terus berulang di kawasan kepulauan. Kekayaan migas yang mengalir keluar daerah tak pernah benar-benar memberi dampak nyata bagi kehidupan warga, sementara masyarakat tetap bergulat dengan keterbatasan infrastruktur, mahalnya bahan bakar, dan minimnya perhatian pemerintah.
“Raas dan Kangean sama-sama menjadi saksi bagaimana perut bumi mereka terus dieksplorasi, sementara masyarakatnya tetap hidup dalam keterbatasan. Tidak ada subsidi BBM nelayan, pelabuhan tak kunjung dibenahi, listrik pun masih sering padam,” ujar Ketua Umum IMR, Mashudi, Rabu (8/10/2025).
Mashudi menilai pemerintah dan korporasi energi masih memperlakukan kepulauan seperti halaman belakang negeri. Di jadikan sumber energi nasional, tetapi diabaikan dalam pembangunan sosial.
“Setiap hari minyak diambil dari laut kami, tapi rakyat di pesisir masih bergelap dan bergulat dengan kemiskinan. Jika ini disebut pembangunan, maka itu pembangunan yang pincang,” tegasnya.
Menurutnya, aktivitas penambangan itu selama ini telah merusak ekosistem laut, mengusir ikan dari wilayah tangkapan, dan mengancam ribuan nelayan kecil.
IMR mendesak Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa segera menghentikan seluruh aktivitas seismik hingga ada kajian sosial-lingkungan.
"Kebijakan eksplorasi migas di Sumenep selama ini tak pernah berpihak pada rakyat kepulauan," jelasnya.
Sejak eksplorasi migas dilakukan di Blok Kangean dan Raas, nilai program kompensasi atau CSR yang dirasakan masyarakat sangat kecil. Jalan desa tetap rusak, pendidikan terabaikan, dan lapangan kerja nyaris nihil.
“Pemerintah daerah seperti kehilangan kedaulatan atas sumber daya di wilayahnya sendiri,” ungkapnya.
Dalam catatan IMR, aktivitas industri energi di kawasan kepulauan Sumenep selama ini hanya melahirkan paradoks: hasil bumi melimpah, tapi rakyat tetap bergelut dengan kemiskinan.
“Yang kaya tetap perusahaan, yang miskin tetap masyarakat pesisir,” terangnya.
IMR menegaskan akan mengirim surat terbuka kepada Gubernur Jawa Timur dan SKK Migas, mendesak survei seismik 3D tak dilanjutkan hingga ada jaminan perlindungan ekologis dan keadilan sosial.
“Kami ingin pemerintah turun ke lapangan, mendengar langsung suara nelayan, bukan sekadar laporan meja perusahaan,” pungkas Mashudi.(*)
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |