TIMES SUMENEP, SUMENEP – Raas adalah pulau yang kecil di peta, tetapi luas di langkah kaki warganya. Ia mungkin hanya setitik daratan di ujung timur Madura, namun denyut hidupnya bertebaran jauh ke Bali, Malang, Yogyakarta, hingga kota-kota besar lain. Raas tidak pernah benar-benar sepi; ia hanya berpindah alamat.
Sejak usia sekolah dasar, anak-anak Raas sudah akrab dengan kata “berangkat”. Banyak yang belum lama mengeja huruf, tapi sudah belajar mengeja jarak. Nyantri menjadi pintu awal diaspora. Pesantren bukan sekadar tempat belajar agama, melainkan stasiun keberangkatan pertama. Dari Raas, mereka berlayar ke daratan lain membawa sarung, doa orang tua, dan bekal paling penting: keberanian.
Merantau bagi orang Raas bukan pilihan hidup, melainkan bagian dari siklus kehidupan. Seperti musim angin dan ombak, pergi dan pulang adalah irama yang diwariskan lintas generasi. Anak-anak tumbuh dengan cerita kakak atau pamannya yang sukses di luar pulau. Maka cita-cita pun tidak selalu ditulis di buku, tetapi di benak: suatu hari, aku juga akan berangkat.
Ketika dewasa, perjalanan itu berlanjut. Raas menjadi tanah asal, bukan lagi tanah penghidupan. Pulau ini mengajarkan cara bertahan, tetapi dunia luar mengajarkan cara berkembang.
Di Bali, orang Raas menjelma menjadi pekerja keras yang lentur: ada yang berdagang, menjadi buruh, pengusaha kecil, sopir, pekerja pariwisata, hingga perantau sunyi yang bekerja tanpa banyak cerita.
Namun diaspora Raas bukan sekadar soal ekonomi. Ia adalah kultur. Ada etos yang ikut menyeberang: kesabaran menghadapi hidup, keteguhan menjaga harga diri, dan kesetiaan pada akar. Orang Raas boleh tinggal jauh, tetapi lidahnya masih menyebut pulau itu dengan nada rindu. Dalam logat yang tak hilang, Raas terus hidup.
Yang menarik, merantau tidak memutus ikatan, justru menguatkannya. Di tanah rantau, orang Raas saling mencari, saling menyapa, dan saling menjaga. Solidaritas tumbuh bukan karena formalitas organisasi, tetapi karena kesamaan nasib. Di perantauan, Raas menjelma menjadi rumah yang berpindah-pindah.
Namun di balik romantika diaspora, ada sunyi yang jarang dibicarakan. Raas sering ditinggalkan oleh usia produktifnya. Yang tersisa di pulau adalah anak-anak dan orang tua. Energi muda habis di luar, sementara kampung menua pelan-pelan. Diaspora yang mulia ini sekaligus menyisakan luka struktural: siapa yang membangun pulau jika semua yang mampu pergi?
Ironisnya, Raas sering dikenang justru ketika jauh. Banyak perantau mencintai kampungnya dari kejauhan, tetapi tidak tahu bagaimana cara memulangkannya ke masa depan. Pulang fisik tidak selalu mungkin, tetapi pulang gagasan seharusnya bisa. Diaspora bukan hanya tentang keluar, melainkan tentang apa yang dibawa kembali—meski dalam bentuk pikiran, jejaring, dan keberpihakan.
Kultur nyantri sejak dini sebenarnya menyimpan potensi besar. Pesantren membentuk disiplin, etika, dan daya tahan. Jika nilai ini dipertemukan dengan keterampilan modern, Raas tidak hanya akan dikenal sebagai pulau perantau, tetapi juga pulau gagasan. Sayangnya, jembatan antara tradisi dan inovasi masih rapuh.
Bali dan daerah rantau lainnya telah memberi ruang hidup, tetapi Raas tetap menjadi sumber identitas. Di sanalah bahasa pertama diucapkan, doa pertama dipanjatkan, dan keberanian pertama diasah. Diaspora Raas bukan pelarian, melainkan strategi bertahan hidup dalam keterbatasan.
kini bukan lagi mengapa orang Raas merantau, melainkan bagaimana diaspora ini dimaknai. Apakah ia hanya menjadi cerita keberhasilan individu, atau bisa berubah menjadi energi kolektif untuk membangun pulau? Diaspora yang mulia adalah diaspora yang ingat jalan pulang meski pulangnya tidak selalu dengan tubuh, tetapi dengan kontribusi.
Raas tidak kekurangan orang hebat, ia hanya kekurangan ruang untuk menampung mereka. Selama ruang itu belum tersedia, perantauan akan terus menjadi takdir. Namun selama ingatan tentang Raas tetap hidup di hati para perantau, pulau ini tidak akan pernah benar-benar ditinggalkan.
Di sanalah letak sapa mulia kultur diaspora Raas: pergi tanpa melupakan, jauh tanpa tercerabut, dan merantau tanpa kehilangan asal. Sebab Raas, pada akhirnya, bukan hanya tempat dilahirkan, tetapi nilai yang terus dibawa ke mana pun kaki melangkah.
***
*) Oleh : Thaifur Rasyid, S.H., M.H., Ketua Ikatan Mahasiswa Raas.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |