https://sumenep.times.co.id/
Opini

Menjaga Marwah Pesantren dari Luka Kekerasan Seksual

Jumat, 12 Desember 2025 - 15:08
Menjaga Marwah Pesantren dari Luka Kekerasan Seksual Insan Rofiqi, Pegiat Literasi Desa Sekolah Hompimpa Sumenep.

TIMES SUMENEP, SUMENEP – Dugaan pencabulan terhadap lebih dari 30 santriwati oleh seorang oknum lora atau gus di sebuah pesantren di Bangkalan kembali membuka luka yang selama ini ditutup-tutupi. Sosok yang mestinya menjadi teladan moral justru diduga menggunakan otoritasnya untuk menundukkan mereka yang berada dalam posisi paling rentan. 

Kasus ini bukan sekadar kejahatan individu, tetapi peringatan keras bahwa ada sesuatu yang keliru dan belum dibenahi secara serius di banyak lembaga pendidikan berbasis pesantren.

Laporan Komisi VIII DPR RI mencatat setidaknya 107 kasus kekerasan seksual terjadi di lingkungan pesantren sepanjang 2024 hingga 2025. Angka itu menandakan bahwa persoalan ini bukan penyimpangan sesaat, melainkan pola yang berulang. 

Pesantren yang selama ini dirayakan sebagai rumah ilmu, moral, dan spiritualitas ternyata tidak kebal terhadap praktik tindak pidana kekerasan seksual (TPKS). Ketika korbannya adalah anak dan remaja yang menyerahkan hidup mereka kepada para pengasuh dan guru, maka kegagalan mengantisipasi maupun menangani kekerasan menjadi persoalan moral yang jauh lebih berat.

Bagaimana mungkin institusi yang dibangun atas nilai adab, kasih sayang, dan pendidikan bisa berubah menjadi ruang yang membahayakan hak asasi santri? Pertanyaan ini tidak hanya pantas, tetapi wajib diajukan, terutama oleh kita yang menginginkan pesantren tetap memiliki marwah dan kepercayaan publik.

Fenomena ini tidak bisa dipahami sebagai kesalahan oknum semata. Ada konteks struktural yang membuat kekerasan seksual di pesantren sulit terungkap: relasi kuasa yang timpang, budaya diam, serta sistem pengawasan yang lemah. Dalam kultur pesantren, posisi seorang lora atau gus tidak hanya dipandang sebagai pewaris ilmu, tetapi juga pewaris karisma. 

Mereka ditempatkan dalam struktur simbolik yang sering kali membuat kritik dianggap durhaka dan penolakan dianggap tidak sopan. Ketika seorang gus meminta sesuatu, santri jarang berani menolak karena sudah sejak awal tertanam keyakinan bahwa ketaatan adalah jalan menuju keberkahan.

Relasi kuasa semacam itu menciptakan ruang yang rawan disalahgunakan. Pelaku tidak perlu menggunakan ancaman fisik; cukup memanfaatkan kedekatan, perhatian, atau narasi religius untuk membuat korban merasa bersalah atau menganggap dirinya wajib patuh. 

Sementara itu, banyak korban terutama perempuan muda dibelenggu oleh rasa takut dianggap mencemarkan nama baik pesantren, takut tidak dipercaya, bahkan takut dicap melawan ulama. 

Akibatnya, diam menjadi satu-satunya pilihan bertahan. Kita harus jujur mengakui bahwa keberanian melapor sering tidak sebanding dengan risiko sosial yang ditanggung korban.

Dalam situasi seperti ini, pertanyaan berikutnya tak terhindarkan: di mana peran negara? Indonesia memiliki UU Perlindungan Anak dan UU TPKS, namun regulasi sering melemah ketika pelaku memiliki kedekatan dengan tokoh agama atau pejabat lokal. 

Tidak sedikit aparat yang ragu menindak tegas karena tidak ingin dianggap anti-ulama. Bahkan ada kasus yang sengaja “diselesaikan secara kekeluargaan”, seolah-olah kekerasan seksual adalah persoalan rumah tangga, bukan kejahatan serius yang merusak masa depan korban.

Kelemahan tersebut diperparah oleh posisi pesantren sebagai lembaga yang sangat otonom. Tidak seperti sekolah negeri atau madrasah formal, pesantren selama bertahun-tahun beroperasi tanpa mekanisme pengawasan eksternal yang jelas. 

Banyak pesantren tidak memiliki standar operasional perlindungan anak, tidak punya unit konseling, dan tidak menyediakan jalur pelaporan yang aman bagi santri. Akibatnya, ketika kekerasan terjadi, penanganannya bergantung pada kemauan pengasuh atau pengurus pesantren. Tanpa sistem yang kokoh, respons institusi sering kali tidak berpihak pada korban.

Namun, ada harapan. Kehadiran regulasi terbaru melalui Keputusan Menteri Agama No. 91 Tahun 2025 tentang Pesantren Ramah Anak menjadi langkah penting. Kebijakan ini bukan sekadar aturan administratif, tetapi fondasi yang mendorong pesantren membangun sistem perlindungan yang terukur mulai dari pola pengasuhan, konseling, hingga protokol pelaporan yang menjamin keamanan santri. Implementasinya tentu membutuhkan komitmen kolektif, terutama dari para kiai, pengasuh, dan pengelola pesantren.

Namun ada prinsip dasar yang harus kita pegang: kekerasan seksual tidak boleh dinormalisasi atas nama agama. Banyak kekerasan di lembaga keagamaan dibungkus dengan narasi adab dan ketaatan. Hal itu membuat korban merasa bersalah dan pelaku merasa kebal hukum. Padahal, tidak ada satu pun ajaran agama yang membenarkan praktik kekerasan, terlebih terhadap anak-anak. 

Pembiaran semacam itu tidak hanya merusak psikologis korban, tetapi juga merusak marwah pesantren sebagai institusi moral. Ketika kekerasan ditutup-tutupi, pesantren kehilangan otoritas etiknya karena gagal melindungi mereka yang seharusnya paling dijaga.

Perlindungan anak bukan ancaman bagi tradisi pesantren, justru menjadi bagian dari akhlak mulia yang menjadi ruhnya. Pesantren yang aman adalah pesantren yang memuliakan martabat santri, menjaga kepercayaan publik, dan menegakkan etika sebagai fondasi pendidikan.

Kita semua memiliki tanggung jawab moral untuk memastikan kekerasan seksual di pesantren tidak lagi dianggap sebagai musibah yang bisa dilupakan. Tidak ada kompromi bagi siapapun yang menyalahgunakan otoritas agama untuk mencederai tubuh dan martabat anak bangsa. 

Negara harus hadir, hukum harus ditegakkan, dan pesantren harus membuka diri pada sistem perlindungan yang transparan. Karena hanya dengan cara itu pesantren dapat tetap menjadi rumah ilmu yang humanis, aman, dan bermartabat.

***

*) Oleh : Insan Rofiqi, Pegiat Literasi Desa Sekolah Hompimpa Sumenep.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Sumenep just now

Welcome to TIMES Sumenep

TIMES Sumenep is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.