https://sumenep.times.co.id/
Opini

Jalan Rusak, Harapan yang Ikut Retak di Pulau Raas

Sabtu, 20 Desember 2025 - 18:16
Jalan Rusak, Harapan yang Ikut Retak di Pulau Raas Mahsun Arifandy, Pengurus Ikatan Mahasiswa Raas.

TIMES SUMENEP, SUMENEP – Hampir tidak ada yang berubah dari waktu ke waktu. Jalan di Kepulauan Raas atau Kecamatan Raas, Kabupaten Sumenep masih menjadi potret ketertinggalan yang terasa akrab bagi warganya. Lubang, badan jalan yang terkelupas, hingga akses antardesa yang memaksa warga berjalan ekstra hati-hati bukan lagi keluhan musiman, melainkan kondisi permanen. Yang membuat situasi ini kian ironis, problemnya bukan semata soal ketiadaan anggaran, melainkan kegagalan birokrasi yang terus berulang.

Raas bukan wilayah tanpa perhatian fiskal. Setiap tahun, anggaran pembangunan tetap mengalir, baik dari APBD kabupaten, provinsi, hingga pusat. Bahkan kehadiran industri migas dengan skema Corporate Social Responsibility (CSR) seharusnya menjadi peluang tambahan untuk memperbaiki infrastruktur dasar seperti jalan. 

Namun realitas di lapangan berbicara lain. Jalan tetap rusak, perbaikan bersifat tambal sulam, dan hasilnya cepat kembali hancur. Di titik ini, publik wajar bertanya: ke mana sebenarnya arah kebijakan pembangunan untuk wilayah kepulauan?

Masalah utama terletak pada cara birokrasi memandang Raas. Pulau ini kerap diperlakukan sebagai objek administratif, bukan subjek pembangunan. Infrastruktur jalan dibangun sekadar memenuhi laporan program, bukan menjawab kebutuhan riil masyarakat. 

Perencanaan sering kali bersifat top-down, tanpa membaca karakter geografis pulau, kondisi tanah, hingga beban mobilitas warga. Akibatnya, jalan yang dibangun tidak tahan lama, mudah rusak, dan menimbulkan biaya perbaikan berulang.

Lebih problematis lagi, birokrasi terjebak dalam logika prosedural. Selama dokumen lengkap dan proyek berjalan sesuai kalender anggaran, pembangunan dianggap selesai. Tidak ada keberanian untuk mengevaluasi secara jujur mengapa jalan cepat rusak, siapa yang bertanggung jawab, dan bagaimana desain kebijakan harus diubah. Dalam situasi seperti ini, anggaran besar justru kehilangan daya ubahnya. Uang hadir, tetapi visi absen.

CSR migas pun bernasib serupa. Di atas kertas, tanggung jawab sosial perusahaan tampak menjanjikan. Namun di Raas, CSR sering kali terjebak pada proyek simbolik dan jangka pendek. Ada papan nama, ada seremonial, tetapi dampak strukturalnya nyaris tak terasa. Tanpa integrasi dengan perencanaan pemerintah daerah, CSR hanya menjadi etalase kepedulian, bukan solusi pembangunan. Ketika proyek selesai, persoalan kembali ke titik awal.

Kondisi ini memperlihatkan masalah koordinasi yang kronis. Pemerintah daerah, kontraktor, dan pihak perusahaan berjalan di jalur masing-masing, tanpa peta jalan pembangunan yang jelas dan berkelanjutan. 

Tidak ada satu otoritas yang benar-benar memastikan kualitas, keberlanjutan, dan relevansi pembangunan jalan di Raas. Akibatnya, masyarakat menjadi pihak yang paling dirugikan, sekaligus yang paling pasrah.

Di tengah kebuntuan itu, harapan masyarakat Pulau Raas semakin mengabur. Mereka telah lama bersabar, menunggu janji demi janji pembangunan. Namun kesabaran publik bukan sumber daya yang tak terbatas. 

Ketika jalan tetap rusak dari tahun ke tahun, kepercayaan terhadap negara perlahan terkikis. Negara terasa jauh, birokrasi terasa asing, dan pembangunan seolah berhenti di pelabuhan daratan Madura.

Pertanyaan paling getir pun muncul: kepada siapa lagi masyarakat Raas harus berharap? Kepada pemerintah kabupaten yang berganti kepemimpinan tanpa perubahan signifikan? Kepada provinsi yang sering kali memandang kepulauan sebagai pinggiran? Ataukah kepada perusahaan migas yang orientasinya tetap pada profit, bukan keberlanjutan sosial? Jika semua saluran harapan buntu, maka yang tersisa hanyalah rasa keterasingan sebagai warga negara.

Padahal, infrastruktur jalan bukan sekadar soal mobilitas. Ia menyangkut akses pendidikan, layanan kesehatan, distribusi ekonomi, dan martabat warga pulau. Jalan rusak berarti biaya hidup lebih mahal, layanan publik lebih lambat, dan kesempatan ekonomi lebih sempit. Dalam jangka panjang, kondisi ini memperkuat ketimpangan antara daratan dan kepulauan, antara pusat dan pinggiran.

Sudah saatnya persoalan Raas dibaca sebagai masalah tata kelola, bukan semata teknis pembangunan. Tanpa reformasi birokrasi yang serius mulai dari perencanaan berbasis konteks lokal, pengawasan yang ketat, hingga integrasi anggaran dan CSR pembangunan jalan akan terus menjadi proyek gagal yang diulang. Anggaran sebesar apa pun tidak akan berarti jika birokrasi tetap bekerja tanpa nurani dan keberanian koreksi.

Jika negara ingin tetap relevan di mata warga kepulauan, maka Raas harus diperlakukan sebagai prioritas, bukan pelengkap. Masyarakat pulau tidak membutuhkan janji baru, tetapi perubahan cara berpikir. Sebab pada akhirnya, jalan yang rusak bukan hanya melukai tanah, tetapi juga meretakkan harapan warga terhadap kehadiran negara.

***

*) Oleh : Mahsun Arifandy, Pengurus Ikatan Mahasiswa Raas.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Sumenep just now

Welcome to TIMES Sumenep

TIMES Sumenep is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.