TIMES SUMENEP, BANDUNG – Kasus pencemaran nama baik yang melibatkan Lisa Mariana dan mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil kembali menjadi perhatian publik setelah penyidik Bareskrim Polri resmi menetapkan Lisa sebagai tersangka.
Kasus ini bukan sekadar perkara hukum, tetapi juga potret nyata tentang rapuhnya batas antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab bermedia di ruang digital.
Penetapan status tersangka dilakukan usai penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Polri menggelar perkara pekan lalu.
“Pemanggilan sebagai tersangka dijadwalkan pada Selasa, dan suratnya sudah diterima yang bersangkutan sejak Jumat malam,” ujar Kombes Rizki Agung Prakoso, Kasubdit I Dittipidsiber Bareskrim Polri, di Jakarta.
Dampak Media Sosial
Kasus ini berawal dari pernyataan Lisa di media sosial yang menyinggung kehidupan pribadi Ridwan Kamil dan keluarganya. Informasi yang disebarkan kemudian dinilai tidak sesuai fakta, hingga berujung pada laporan resmi ke kepolisian.
Dampak dari unggahan tersebut, menurut kuasa hukum RK, Muslim Jaya Butar Butar, tidak hanya mencederai nama baik kliennya, tetapi juga merusak ketenangan keluarga, Senin (20/10/2025).
“Pak Ridwan Kamil memilih melanjutkan proses hukum ini agar ada kepastian hukum dan efek jera bagi siapapun yang dengan mudah menebar tudingan tanpa dasar di ruang publik,” ujar Muslim seusai menghadiri agenda mediasi di Bareskrim Polri.
Ridwan Kamil disebut tetap menghormati proses hukum yang berjalan dan menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum.
Ia menolak upaya damai yang sebelumnya ditawarkan pihak terlapor. “Dampak sosialnya sudah luas sekali. Tidak hanya bagi beliau pribadi, tapi juga bagi keluarga. Karena itu, langkah hukum ini menjadi bentuk tanggung jawab,” lanjut Muslim.
Pentingnya Literasi Digital
Kasus ini memantik perbincangan tentang pentingnya literasi digital dan etika bermedia sosial.
Pakar komunikasi publik dari Universitas Indonesia, Dr. Niken Pratiwi, menilai bahwa kasus serupa semakin sering terjadi karena masyarakat belum memahami konsekuensi hukum dari setiap unggahan yang bersifat tuduhan atau fitnah.
“Dalam ruang digital, satu unggahan bisa menjadi viral dalam hitungan detik. Tapi dampaknya bisa bertahun-tahun. Bagi figur publik, reputasi yang rusak tidak selalu mudah dipulihkan,” ujar Niken.
Ia menambahkan, penyebaran informasi pribadi atau tuduhan tanpa verifikasi juga berpotensi menimbulkan “luka sosial” — bukan hanya bagi pihak yang difitnah, tetapi juga bagi publik yang ikut termakan informasi salah.
Kasus Lisa Mariana ini menjadi pengingat bahwa kebebasan berpendapat harus dijalankan dengan tanggung jawab. Di tengah derasnya arus informasi, klarifikasi dan kehati-hatian menjadi kunci menjaga etika bermedia.
Kini, penyidik masih melanjutkan pemeriksaan terhadap Lisa Mariana sebagai tersangka. Proses hukum akan menentukan akhir dari kasus yang telah menyita perhatian publik ini.
Namun, lebih dari sekadar perkara pidana, peristiwa ini menjadi refleksi bagi masyarakat digital: bahwa kata-kata yang dilontarkan di dunia maya bisa meninggalkan jejak, dan setiap jejak memiliki konsekuensi. (*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Kasus Lisa Mariana: Dari Pencemaran Nama Baik Menjadi Luka Sosial di Era Digital
Pewarta | : Djarot Mediandoko |
Editor | : Ronny Wicaksono |